Selasa, April 14, 2009

Iklan Layanan Masyarakat

Ini adalah karya-karya ketika saya masih menyandang status mahasiswa...
Berangkat dari sebuah kontrak sosial yang lebih dikenal dengan sebutan Tri Dharma Perguruan Tinggi
... (haha... saya cukup menertawakan saja jika ada mahasiswa yang justru baru mendengar istilah ini!)

Tri Dharma Perguruan Tinggi :
1. Dharma Pendidikan

2. Agen penelitian
3. Pengabdian kepada masyarakat


Tri Dharma ketiga begitu menginspirasikan saya untuk mengkritisi realita dalam bentuk iklan layan
an masyarakat atau biasa disingkat PSA (Public Service Announcement). Yaa... maksudnya sih sambil belajar... hehe...





Kedua karya di atas mengangkat isu 'Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada perempuan' , proses penciptaan dan eksekusi berkoalisi dengan Mr.Ahadun
Karya 1 berjudul "ARISAN" (Anti Diskriminasi dan Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Karya 2 berjudul "Pejuang Wanita"


Karya di atas mengangkat isu
'Kekerasan Pada Perempuan' dan saya memfokuskan pada kekerasan simbolik, sebuah bentuk diskriminasi yang kasat mata namun memiliki efek jangka panjang.

Karya ini berjudul "Dilarang Perempuan"



Karya ini mengangkat tema
'Sex Before Married' , menyoroti maraknya seks bebas di kalangan remaja. Proses penciptaan dan eksekusi iklan layanan masyarakat ini berkoalisi dengan Mr.Opur.

Karya ini berjudul "IJAB KABUL" dan berhasil memasuki Finalis 10 Besar Anugerah Iklan Jawa Barat LAYANG KANCANA untuk kelas mahasiswa.


Senin, April 13, 2009

Sebuah logika berpikir : “Saya harus Percaya atau Tidak?”

Diri saya berkelit hebat dengan pemikiran saya sendiri. Peristiwa ini bermula ketika Me and I berbeda pendapat dan saling berseteru. Seolah kepribadian saya terbelah, yang satu berbisik dari kanan dan yang satu lagi membantah dari sebelah kiri. Dan secara utuh diri saya dipaksa menjadi hakim atas kasus persengketaan ini. Bukan sebuah keadaan yang aneh bagi penderita krisis kepercayaan yang akut seperti saya. Traumatis terhadap peristiwa-peristiwa penuh kebohongan yang kerap kali mewarnai sisi ruang kehidupan telah menjadi penyulut utama krisis kepercayaan yang dalam diri saya. Sangat banyak dan sangat beragam dengan kadar mematikan rasa kepercayaan yang berbeda-beda.

Ketika kelas 4 SD, saya merupakan sosok anak manja yang memiliki hobi cukup unik. Sebuah hobi yang sangat difasilitasi oleh ibu saya, bersembunyi di balik ketiak emak. Istilah yang sangat brilian yang pernah diciptakan seorang ibu rumah tangga dengan ketertarikan khusus pada sinetron. Saya mengakui bahwa saya ketika itu memang tidak pernah ingin terpisahkan oleh ibu saya meskipun dalam waktu yang relatif singkat, tetapi bukan berarti saya hanya bergelantungan di bulu ketiak emak, saya membantah itu. Tohh... cuma istilah. Sewaktu ketika saya menyadari bahwa ibu saya meninggalkan saya di rumah sendirian dengan alasan menyiram tanaman di pekarangan padahal ibu saya pergi arisan. Berani-beraninya ibu saya membangunkan macan tidur dalam diri saya, saya marah besar. Demo tidak mau bicara selama tiga hari. Seenaknya ibu saya memanfaatkan pohon-pohon di pekarangan rumah yang dapat mengganggu pemantauan saya untuk melarikan diri. Parahnya, belakangan saya ketahui hal itu bukan kali pertama. Dan selanjutnya hal itu terus berulang dengan alasan yang lebih jitu yang dilontarkan ibu saya kepada saya. Sebuah pengalaman pertama saya dibohongi bahkan dilakukan oleh orang yang sangat saya sayangi.

Saya pun beranjak dewasa, romantisme di bangku sekolah pun melanda. Saya memiliki track record pacaran yang cukup mengesankan. Masuk dalam jajaran atas cowok-cowok laris di bangku sekolah. Dan dari setiap perjalanan cinta kasih yang saya ukir semuanya tidak terkecuali pasti tergores sebuah kebohongan. Ada yang tidak mengakui saya sebagai pacarnya ketika si cewek biadab itu bertemu dengan lelaki idamannya, ada juga yang masih menghabiskan waktu bersama kekasih lamanya di luar sepengetahuan saya, terakhir adalah yang menyakitkan dan berdaya bunuh sangat tinggi terhadap kepercayaan saya.

Kisah ini bermula ketika saya di tengah kebahagiaan dalam sebuah hubungan yang indah dengan gadis pujaan saya. Hal ini juga yang pada akhirnya membuat saya miris. Berkat bakat keusilan yang saya bawa sejak lahir akhirnya saya menuai suatu hikmah. Suatu sore, saya dengan gadis pujaan itu sedang menghangatkan hubungan melalui telepon. Hal ini perlu dilakukan karena keberadaan kami dipisahkan jarak yang cukup jauh, bisa dikatakan lintas dalam kota. Entah dari mana datangnya, ide usil terbesit dalam benak saya.

Dengan maksud bercanda, saya bertanya sinis, “Kemarin kamu dari mana? Sama siapa?”.
Dia menjawab, “Abis nganter kakak aku, trus janjian sama Jenita (bukan nama sebenarnya) di PIM (nama Mall di Jakarta yang sebenar-benarnya ada)”.

Keusilan dimulai ketika saya berulang kali bertanya dengan sinis, “Jujur, sama siapa? Jenita atau siapa sih” “Udah ngaku aja, aku nggak suka nih kalo nggak jujur” “Ya udah kalo emang nggak mau jujur”.

Dia menjawab semua pertanyaan dengan kesal, “Sama Jenita, demi Allah... tanya aja kalo nggak percaya. Kamu kenapa sih? Lagi jauh malah cari-cari masalah? Kamu mau putus? Kenap cari-cari kesalahan gitu? Aku nggak suka. Maunya apa sih. Aku dah JUJUR!!!”

Dia mulai naik pitam sementara saya sudah cekikikan dalam hati. Tanpa pikir panjang saya luncurkan pertanyaan serupa tiada henti karena merasa keusilan saya hampir menyongsong keberhasilan. “Mending kamu ngaku sekarang. Ya udah kalo nggak mau ngaku, aku tutup teleponnya. Kenapa nggak mau jujur sih?”

Selanjutnya perlu dicermati, karena dia mulai memberikan jawaban yang langsung mengganti senyum usil saya dengan guratan di kepala. “Kenapa sih? Temen kamu ada yang liat aku? Emang aku sama siapa?”

Jawaban yang cukup aneh, dari skala temperatur 90 derajat celcius kemarahan langsung mereda. Selanjutnya benar-benar menjadi mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan, si gadis pujaan ternyata memang pergi dengan lelaki yang pernah mendekatinya. Satu harapan, satu jalinan kasih yang indah, seorang pujaan, hanya karena keusilan semata, semua berubah dengan satu kata penyelesaian yaitu KEBOHONGAN. Minus kuadrat. Sebuah pengalaman yang mengesankan tentang arti kepercayaan bagi saya. Dan saat ini menjadi penyakit akut yang saya derita.

Perseteruan hebat Me and I masih terus bergulir, dan saya coba sedikit menganalisis tentang konsep Kepercayaan dengan dilatarbelakangi pengalaman penuh kebohongan yang sudah saya konsumsi dengan baik. Pertanyaan mendasar adalah Kepercayaan itu apa? Secara harfiah adalah bentuk atau hasil dan bukan sebuah proses karena secara tata bahasa menggunakan imbuhan ke-an yang berarti kata benda. Namun Kepercayaan itu sendiri bukan sebuah benda, karena wujudnya yang tak pernah terlihat. Hanya saja, subjek dalam hal ini setiap orang senantiasa melekatkan kepercayaan dengan sesuatu yang berwujud nyata dan terlihat.

Sebagai visualisasi, Ketika seorang wanita yang sedang saya dekati mengatakan bahwa “Maaf, kita tidak jadi ketemu hari ini karena sekarang baru selesai dari rumah saudara dan masih harus mengantar sepupu”. Saya akan percaya atau tidak. Kekuatan apa yang mendorong saya untuk percaya dan kekuatan apa yang mendorong saya untuk tidak percaya sebenarnya tidak ada. Tidak ada sama sekali. Kedua kemungkinan itu, untuk percaya atau tidak percaya bersifat netral, dan sepenuhnya diri saya yang menentukan. Jika saya menanyakan langsung kepada sepupu gadis itu atau menelpon rumah saudara gadis itu untuk memastikan dan kemudian jawabannya adalah “Iya” maka saya percaya. Dalam hal ini saya mencoba melekatkan dengan sesuatu yang lain yaitu bahwa si gadis memang sebenar-benarnya hadir pada hari itu di rumah saudaranya dan sekarang bersama sepupunya. Lalu bagaimana kalau saya tidak pernah mempertanyakan karena hal itu seyogyanya perbuatan bodoh kaum adam, tetapi satu jam kemudian saya mendapatkan gadis itu sedang makan bersama kekasih lamanya di sebuah cafe. Dan itu artinya, saya menjadi tidak percaya. Saya kembali melekatkan kepercayaan pada sesuatu yang lain. Ternyata penjelasannya adalah rumah saudaranya dekat dengan rumah kekasih lamanya, sebagai silaturahmi maka sang gadis menemui kekasih lamanya yang kemudian berencana makan bareng setelah mengantar sepupunya. Semua menjadi jelas namun tetap saja bohong, dan kepercayaan masih menjadi tanda tanya.

Terbayangkan jika keadaannya bahwa saya tidak menyaksikan apa yang sebenar-benarnya terjadi, bisa saja gadis itu ternyata tidak ke rumah saudaranya dan tidak mengantar sepupunya melainkan pergi bersama kekasih lamanya dab bersekutu dengan saudaranya, atau bisa juga sepulang dari rumah saudaranya tiba-tiba gadis itu membuat jadwal baru untuk bertemu kekasih lamanya dan beralasan mengantar sepupunya, bahkan bisa juga gadis itu ke rumah saudaranya dan mengantar sepupunya bersama kekasih lamanya, dan masih banyak bisa juga yang lain-lainnya. Dalam hal ini jelas bahwa apapun itu hanya bisa dipercaya jika benar-benar kita ketahui dan kita saksikan, karena segala sesuatu yang tidak kita ketahui memiliki berbagai kemungkinan dan posisi kita hanya melekatkan segala atribut untuk meminimalisir kemungkinan yang beragam itu, sehingga menjadi satu kemungkinan untuk kita percayai.

Menarik pemikiran tersebut, dapat diasumsikan bahwa Kepercayaan itu sejatinya tidak berwujud, abstrak dan tidak nyata, sebuah konsep gagasan yang hanya ada dalam kepala dan pemikiran kita kemudian kita buat menjadi bentuk nyata yang pada akhirnya kita akan berpegangan pada gagasan tersebut, yang sebenar-benarnya tidak nyata dan kita yang membuatnya ada dalam pikiran kita sendiri. Kita menciptakan sesuatu untuk berpegangan padahal sebenar-benarnya kita tidak berpegangan pada apapun, karena sebenar-benarnya itu tidaklah nyata. Dan ornamen-ornamen yang biasa kita dengar sebagai penguat kepercayaan, seperti orang yang bisa dipercaya, orang yang jujur, orang yang kita kasihi tidak mungkin membohongi, itu semua hanya tempelan. Potongan gagasan lain yang merujuk pada pengalaman yang sama sekali berbeda namun dilekatkan pada pengalaman yang sekarang terjadi. Hal tersebut tetaplah tempelan yang bersifat kamuflase semata untuk menjadikan kepercayaan seolah berbentuk nyata dan berwujud agar kita dapat berpegangan kepadanya. Jadi kembali pada pertanyaan semula yang masih belum juga terjawab, “Saya harus percaya atau tidak percaya”. Sebuah konsep yang akhirnya menguap ketika saya larikan pada logika berpikir. (arz)