Selasa, April 14, 2009

Iklan Layanan Masyarakat

Ini adalah karya-karya ketika saya masih menyandang status mahasiswa...
Berangkat dari sebuah kontrak sosial yang lebih dikenal dengan sebutan Tri Dharma Perguruan Tinggi
... (haha... saya cukup menertawakan saja jika ada mahasiswa yang justru baru mendengar istilah ini!)

Tri Dharma Perguruan Tinggi :
1. Dharma Pendidikan

2. Agen penelitian
3. Pengabdian kepada masyarakat


Tri Dharma ketiga begitu menginspirasikan saya untuk mengkritisi realita dalam bentuk iklan layan
an masyarakat atau biasa disingkat PSA (Public Service Announcement). Yaa... maksudnya sih sambil belajar... hehe...





Kedua karya di atas mengangkat isu 'Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada perempuan' , proses penciptaan dan eksekusi berkoalisi dengan Mr.Ahadun
Karya 1 berjudul "ARISAN" (Anti Diskriminasi dan Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Karya 2 berjudul "Pejuang Wanita"


Karya di atas mengangkat isu
'Kekerasan Pada Perempuan' dan saya memfokuskan pada kekerasan simbolik, sebuah bentuk diskriminasi yang kasat mata namun memiliki efek jangka panjang.

Karya ini berjudul "Dilarang Perempuan"



Karya ini mengangkat tema
'Sex Before Married' , menyoroti maraknya seks bebas di kalangan remaja. Proses penciptaan dan eksekusi iklan layanan masyarakat ini berkoalisi dengan Mr.Opur.

Karya ini berjudul "IJAB KABUL" dan berhasil memasuki Finalis 10 Besar Anugerah Iklan Jawa Barat LAYANG KANCANA untuk kelas mahasiswa.


Senin, April 13, 2009

Sebuah logika berpikir : “Saya harus Percaya atau Tidak?”

Diri saya berkelit hebat dengan pemikiran saya sendiri. Peristiwa ini bermula ketika Me and I berbeda pendapat dan saling berseteru. Seolah kepribadian saya terbelah, yang satu berbisik dari kanan dan yang satu lagi membantah dari sebelah kiri. Dan secara utuh diri saya dipaksa menjadi hakim atas kasus persengketaan ini. Bukan sebuah keadaan yang aneh bagi penderita krisis kepercayaan yang akut seperti saya. Traumatis terhadap peristiwa-peristiwa penuh kebohongan yang kerap kali mewarnai sisi ruang kehidupan telah menjadi penyulut utama krisis kepercayaan yang dalam diri saya. Sangat banyak dan sangat beragam dengan kadar mematikan rasa kepercayaan yang berbeda-beda.

Ketika kelas 4 SD, saya merupakan sosok anak manja yang memiliki hobi cukup unik. Sebuah hobi yang sangat difasilitasi oleh ibu saya, bersembunyi di balik ketiak emak. Istilah yang sangat brilian yang pernah diciptakan seorang ibu rumah tangga dengan ketertarikan khusus pada sinetron. Saya mengakui bahwa saya ketika itu memang tidak pernah ingin terpisahkan oleh ibu saya meskipun dalam waktu yang relatif singkat, tetapi bukan berarti saya hanya bergelantungan di bulu ketiak emak, saya membantah itu. Tohh... cuma istilah. Sewaktu ketika saya menyadari bahwa ibu saya meninggalkan saya di rumah sendirian dengan alasan menyiram tanaman di pekarangan padahal ibu saya pergi arisan. Berani-beraninya ibu saya membangunkan macan tidur dalam diri saya, saya marah besar. Demo tidak mau bicara selama tiga hari. Seenaknya ibu saya memanfaatkan pohon-pohon di pekarangan rumah yang dapat mengganggu pemantauan saya untuk melarikan diri. Parahnya, belakangan saya ketahui hal itu bukan kali pertama. Dan selanjutnya hal itu terus berulang dengan alasan yang lebih jitu yang dilontarkan ibu saya kepada saya. Sebuah pengalaman pertama saya dibohongi bahkan dilakukan oleh orang yang sangat saya sayangi.

Saya pun beranjak dewasa, romantisme di bangku sekolah pun melanda. Saya memiliki track record pacaran yang cukup mengesankan. Masuk dalam jajaran atas cowok-cowok laris di bangku sekolah. Dan dari setiap perjalanan cinta kasih yang saya ukir semuanya tidak terkecuali pasti tergores sebuah kebohongan. Ada yang tidak mengakui saya sebagai pacarnya ketika si cewek biadab itu bertemu dengan lelaki idamannya, ada juga yang masih menghabiskan waktu bersama kekasih lamanya di luar sepengetahuan saya, terakhir adalah yang menyakitkan dan berdaya bunuh sangat tinggi terhadap kepercayaan saya.

Kisah ini bermula ketika saya di tengah kebahagiaan dalam sebuah hubungan yang indah dengan gadis pujaan saya. Hal ini juga yang pada akhirnya membuat saya miris. Berkat bakat keusilan yang saya bawa sejak lahir akhirnya saya menuai suatu hikmah. Suatu sore, saya dengan gadis pujaan itu sedang menghangatkan hubungan melalui telepon. Hal ini perlu dilakukan karena keberadaan kami dipisahkan jarak yang cukup jauh, bisa dikatakan lintas dalam kota. Entah dari mana datangnya, ide usil terbesit dalam benak saya.

Dengan maksud bercanda, saya bertanya sinis, “Kemarin kamu dari mana? Sama siapa?”.
Dia menjawab, “Abis nganter kakak aku, trus janjian sama Jenita (bukan nama sebenarnya) di PIM (nama Mall di Jakarta yang sebenar-benarnya ada)”.

Keusilan dimulai ketika saya berulang kali bertanya dengan sinis, “Jujur, sama siapa? Jenita atau siapa sih” “Udah ngaku aja, aku nggak suka nih kalo nggak jujur” “Ya udah kalo emang nggak mau jujur”.

Dia menjawab semua pertanyaan dengan kesal, “Sama Jenita, demi Allah... tanya aja kalo nggak percaya. Kamu kenapa sih? Lagi jauh malah cari-cari masalah? Kamu mau putus? Kenap cari-cari kesalahan gitu? Aku nggak suka. Maunya apa sih. Aku dah JUJUR!!!”

Dia mulai naik pitam sementara saya sudah cekikikan dalam hati. Tanpa pikir panjang saya luncurkan pertanyaan serupa tiada henti karena merasa keusilan saya hampir menyongsong keberhasilan. “Mending kamu ngaku sekarang. Ya udah kalo nggak mau ngaku, aku tutup teleponnya. Kenapa nggak mau jujur sih?”

Selanjutnya perlu dicermati, karena dia mulai memberikan jawaban yang langsung mengganti senyum usil saya dengan guratan di kepala. “Kenapa sih? Temen kamu ada yang liat aku? Emang aku sama siapa?”

Jawaban yang cukup aneh, dari skala temperatur 90 derajat celcius kemarahan langsung mereda. Selanjutnya benar-benar menjadi mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan, si gadis pujaan ternyata memang pergi dengan lelaki yang pernah mendekatinya. Satu harapan, satu jalinan kasih yang indah, seorang pujaan, hanya karena keusilan semata, semua berubah dengan satu kata penyelesaian yaitu KEBOHONGAN. Minus kuadrat. Sebuah pengalaman yang mengesankan tentang arti kepercayaan bagi saya. Dan saat ini menjadi penyakit akut yang saya derita.

Perseteruan hebat Me and I masih terus bergulir, dan saya coba sedikit menganalisis tentang konsep Kepercayaan dengan dilatarbelakangi pengalaman penuh kebohongan yang sudah saya konsumsi dengan baik. Pertanyaan mendasar adalah Kepercayaan itu apa? Secara harfiah adalah bentuk atau hasil dan bukan sebuah proses karena secara tata bahasa menggunakan imbuhan ke-an yang berarti kata benda. Namun Kepercayaan itu sendiri bukan sebuah benda, karena wujudnya yang tak pernah terlihat. Hanya saja, subjek dalam hal ini setiap orang senantiasa melekatkan kepercayaan dengan sesuatu yang berwujud nyata dan terlihat.

Sebagai visualisasi, Ketika seorang wanita yang sedang saya dekati mengatakan bahwa “Maaf, kita tidak jadi ketemu hari ini karena sekarang baru selesai dari rumah saudara dan masih harus mengantar sepupu”. Saya akan percaya atau tidak. Kekuatan apa yang mendorong saya untuk percaya dan kekuatan apa yang mendorong saya untuk tidak percaya sebenarnya tidak ada. Tidak ada sama sekali. Kedua kemungkinan itu, untuk percaya atau tidak percaya bersifat netral, dan sepenuhnya diri saya yang menentukan. Jika saya menanyakan langsung kepada sepupu gadis itu atau menelpon rumah saudara gadis itu untuk memastikan dan kemudian jawabannya adalah “Iya” maka saya percaya. Dalam hal ini saya mencoba melekatkan dengan sesuatu yang lain yaitu bahwa si gadis memang sebenar-benarnya hadir pada hari itu di rumah saudaranya dan sekarang bersama sepupunya. Lalu bagaimana kalau saya tidak pernah mempertanyakan karena hal itu seyogyanya perbuatan bodoh kaum adam, tetapi satu jam kemudian saya mendapatkan gadis itu sedang makan bersama kekasih lamanya di sebuah cafe. Dan itu artinya, saya menjadi tidak percaya. Saya kembali melekatkan kepercayaan pada sesuatu yang lain. Ternyata penjelasannya adalah rumah saudaranya dekat dengan rumah kekasih lamanya, sebagai silaturahmi maka sang gadis menemui kekasih lamanya yang kemudian berencana makan bareng setelah mengantar sepupunya. Semua menjadi jelas namun tetap saja bohong, dan kepercayaan masih menjadi tanda tanya.

Terbayangkan jika keadaannya bahwa saya tidak menyaksikan apa yang sebenar-benarnya terjadi, bisa saja gadis itu ternyata tidak ke rumah saudaranya dan tidak mengantar sepupunya melainkan pergi bersama kekasih lamanya dab bersekutu dengan saudaranya, atau bisa juga sepulang dari rumah saudaranya tiba-tiba gadis itu membuat jadwal baru untuk bertemu kekasih lamanya dan beralasan mengantar sepupunya, bahkan bisa juga gadis itu ke rumah saudaranya dan mengantar sepupunya bersama kekasih lamanya, dan masih banyak bisa juga yang lain-lainnya. Dalam hal ini jelas bahwa apapun itu hanya bisa dipercaya jika benar-benar kita ketahui dan kita saksikan, karena segala sesuatu yang tidak kita ketahui memiliki berbagai kemungkinan dan posisi kita hanya melekatkan segala atribut untuk meminimalisir kemungkinan yang beragam itu, sehingga menjadi satu kemungkinan untuk kita percayai.

Menarik pemikiran tersebut, dapat diasumsikan bahwa Kepercayaan itu sejatinya tidak berwujud, abstrak dan tidak nyata, sebuah konsep gagasan yang hanya ada dalam kepala dan pemikiran kita kemudian kita buat menjadi bentuk nyata yang pada akhirnya kita akan berpegangan pada gagasan tersebut, yang sebenar-benarnya tidak nyata dan kita yang membuatnya ada dalam pikiran kita sendiri. Kita menciptakan sesuatu untuk berpegangan padahal sebenar-benarnya kita tidak berpegangan pada apapun, karena sebenar-benarnya itu tidaklah nyata. Dan ornamen-ornamen yang biasa kita dengar sebagai penguat kepercayaan, seperti orang yang bisa dipercaya, orang yang jujur, orang yang kita kasihi tidak mungkin membohongi, itu semua hanya tempelan. Potongan gagasan lain yang merujuk pada pengalaman yang sama sekali berbeda namun dilekatkan pada pengalaman yang sekarang terjadi. Hal tersebut tetaplah tempelan yang bersifat kamuflase semata untuk menjadikan kepercayaan seolah berbentuk nyata dan berwujud agar kita dapat berpegangan kepadanya. Jadi kembali pada pertanyaan semula yang masih belum juga terjawab, “Saya harus percaya atau tidak percaya”. Sebuah konsep yang akhirnya menguap ketika saya larikan pada logika berpikir. (arz)

Minggu, April 12, 2009

Pengantar Seminar : Komodifikasi Maskulinitas dalam Media Massa Modern (Oleh : Aris Nugroho)

Maskulinitas di sini dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Maskulinitas sendiri bukan merupakan sebuah pemberian dari Tuhan dan sudah dimiliki sejak lahir melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan ciri maskulinitas pada sosok laki-laki. Maskulinitas dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu laki-laki berpenis dan perempuan tidak berpenis namun sebagai gender yang merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan peran dalam kehidupan sosial. Seperti pendapat Harding (1968) dan Siva (1989), feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya dapat saling dipertukarkan, artinya, feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan juga maskulinitas tidak serta-merta hanya dimiliki oleh laki-laki (Fakih, 2001:101). Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat maka citra ideal telah dilekatkan pada laki-laki dengan ciri maskulin dan perempuan dengan ciri feminin. Singkatnya, maskulinitas telah disepakati secara sosial sebagai citra ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat merupakan agen pewaris pertama mengenai konsep maskulinitas laki-laki. Anak laki-laki sejak kecil diperkenalkan dengan mainan seperti robot-robotan dan pistol-pistolan di mana perangkat tersebut membawa nilai maskulinitas yang mengarahkan anak laki-laki ke dalam sikap rasional dan keperkasaan. Anak laki-laki juga dibiasakan untuk bermain ke luar rumah dengan tujuan melatih keberanian dan kejantanan. Bahkan secara lebih ekstrim, anak laki-laki akan mendapat tanggapan ‘miring’ jika mudah menangis (cengeng) dalam menghadapi masalah karena merupakan sikap yang menyimpang dari nilai maskulinitas laki-laki. Institusi pendidikan juga berperan dalam tahap ‘pembelajaran’ maskulinitas bagi laki-laki. Bukti yang paling mudah ditemui adalah buku-buku pembelajaran yang menampilkan kalimat-kalimat seperti “Tono membantu ayah di kebun dan Wati membantu ibu memotong ubi”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa laki-laki tidak digambarkan dalam pekerjaan rumah (domestik) namun pekerjaan di luar rumah (publik). Secara gamblang, maskulinitas pada laki-laki juga menyangkut dalam hal peranan sosial bahwa kejantanan, keperkasaan dan dominan tidak berada dalam ranah domestik.


Tahap penyebaran konsep maskulinitas dalam masyarakat sosial juga tidak terlepas dari keberadaan media. Media sebagai alat penyebar informasi dan komunikasi telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini ternyata media juga memainkan peran yang penting dalam memproduksi nilai-nilai maskulinitas laki-laki. Peneliti melihat bahwa penyebaran maskulinitas dalam media bergerak jauh lebih dinamis. Maskulinitas tidak sekedar kejantanan yang ditampilkan melalui bentuk aksi kekerasan. Maskulinitas terdapat juga pada keperkasaan dalam penguasaan teknologi. Maskulinitas juga menunjuk pada penggambaran fisik ideal laki-laki yang dilekatkan nilai kejantanan dan keperkasaan dalam menarik perhatian lawan jenis melalui tubuh seperti kebugaran tubuh, perawatan tubuh sampai penampilan tubuh atau gaya. Maskulinitas semakin beragam dan terjadi proses negosiasi nilai-nilai. Anggapan umum bahwa perawatan tubuh adalah milik perempuan bukan harga mati yang tidak bisa ditawar.


Media telah berperan mengekspresikan langsung realitas sosial tentang laki-laki. Media telah melakukan penggambaran atas definisi laki-laki dalam wacana maskulinitas. Seperti dalam siaran-siaran TV, laki-laki dalam kehidupan sosial kerap kali digambarkan dengan sikap mandiri, mengambil keputusan, agresif dan mempunyai jiwa kompetisi. Dalam media diperlihatkan bahwa laki-laki dengan penekanan sikap-sikap di atas yang diterima di masyarakat dan sesuatu yang sepantasnya ada sebagai laki-laki. Nilai-nilai maskulinitas laki-laki kini telah dijadikan komoditas dan disebarluaskan melalui media massa. Konsep maskulinitas yang telah diterima melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat serta disebarluaskan oleh media secara kesinambungan juga dipergunakan oleh para produsen dalam melekatkan produk-produk mereka pada citra maskulinitas atau yang bersifat mendukung dan menambah nilai maskulinitas (celakanya). Singkatnya, dapat diartikan bahwa maskulinitas sebagai komoditas dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji sebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan atau produk yang dihadirkan produsen menbantu dan memberi dukungan pada masyarkat untuk mendapatkan ciri-ciri maskulin yang tujuan akhir adalah keuntungan bagi produsen atas produk tersebut.


Dalam hal ini telah terjadi komodifikasi yang dalam terminologi Barker dikategorikan sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme yang menempatkan obyek, kualitas, bahkan tanda sebagai komoditas, di mana komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual (Barker, 2004:517). Komodifikasi maskulinitas laki-laki dalam media menjadi fenomena yang menarik. Di Indonesia, majalah sebagai salah satu bentuk media massa, paling mudah terlihat gelagatnya dalam wacana maskulinitas. Hal ini salah satunya disebabkan karena pergerakkan industri media massa cetak khususnya majalah yang semakin mengarah pada fragmentasi media, di mana pasar media semakin sempit dan segmentasi semakin spesifik. Kemunculan media massa yang ‘menembak’ target pembaca laki-laki pun kemudian membawa serta nilai-nilai maskulinitas. Meskipun majalah laki-laki baru mendapat perhatian setelah segmen majalah wanita menjadi tren namun majalah laki-laki kini mulai menunjukan pergerakan dalam segi bisnis sekaligus menjadi penguatan wacana maskulinitas dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, khususnya majalah laki-laki dewasa.


Majalah pria di Indonesia pun mulai ditanggapi serius oleh pihak-pihak institusi bisnis media di negeri kita. Hal ini ditandai dengan bermunculannya majalah-majalah pria yang membawa identitas aslinya dari negara-negara barat dan dihadirkan melalui versi lokal, sebut saja FHM Indonesia dan Playboy Indonesia. Namun majalah pria di Indonesia yang beredar lebih banyak menampilkan foto wanita dan kurang menonjolkan gaya hidup mewah serta sisi intelektual dari pria sendiri. Kekosongan inilah yang diisi Majalah Esquire Indonesia sebagai majalah pria yang masuk dalam pasar Indonesia awal bulan Maret tahun 2007 lalu.


Kelahiran Majalah Esquire Indonesia berbasis majalah multi-nasional tidak sekedar menguatkan ciri ideal maskulin pada laki-laki bahkan menyeberangkan nilai-nilai maskulinitas barat modern kepada pria-pria Indonesia yang diidentikkan dengan intelektual, fashion style dan gaya hidup, serta konsumerisme. Majalah Esquire Indonesia dapat dikatakan telah berperan dalam transmisi produk budaya dan gaya hidup.


Terbukti dengan terbukanya lahan baru ‘Pasar Laki-Laki’ dimana laki-laki tidak lagi sekedar berpakaian namun bergaya dan hal ini dilekatkan dengan nilai-nilai maskulinitas, contoh nyata seperti pada merek busana Esprit, dulunya produk itu ditujukan untuk wanita. Beberapa tahun belakangan, ia juga memproduksi fashion untuk laki-laki.


Direktur riset dan konsultasi perusahaan iklan terkenal Leo Burnett bernama Alan Treadgold menyatakan bagaimana laki-laki juga berubah dalam cara membeli perlengkapan rumah, mobil, maupun barang-barang elektronik. "Banyak kategori barang yang dibeli oleh laki-laki yang secara konvensional umumnya dianggap urusan perempuan," kata Treadgold. "Secara tradisional, ketika kaum laki-laki membeli perkakas hiburan untuk rumah, motivasi yang mendorong adalah fungsi dan hal-hal bersifat teknis. Sekarang mereka berbelanja di toko-toko yang dulu disukai perempuan, misalnya lingkungan tokonya, gaya pelayanannya, serta hal-hal tidak kelihatan lainnya," tambahnya. Ia contohkan pula, dalam hal iklan mobil yang pangsa pasarnya laki-laki, misalnya, kini yang ditonjolkan bukan lagi spesifikasi teknis mobil, melainkan kenyamanan dan pengalaman mengendara. Riset global oleh agen periklanan Euro RSCG tahun lalu memperlihatkan, laki-laki lebih merasa aman dengan maskulinitas mereka, dengan mereka yang berusia 40 ke atas ingin menunjukkan sensitivitas yang lebih besar, terutama melalui nilai-nilai keluarga. Direktur strategi perencanaan Euro RSCG berujar, "Definisi dari apa yang dimaksudkan sebagai laki-laki, memang berubah."

(http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm).


Lebih lanjut dapat dipahami bahwa maskulinitas laki-laki yang dimainkan dalam media massa dalam hal ini majalah pria sudah tidak semata-mata sebagai ideologi dalam dominasi budaya patriarki namun telah direpresentasi dan dikonstruksikan sebagai komoditas, sesuatu yang diproduksi dan bertujuan untuk dijual. Singkatnya, komodifikasi terhadap maskulinitas laki-laki tengah terjadi dalam media massa modern. (arz – 15/11/07)


Sumber :

  • Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  • Fakih, Mansour, Dr. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm
  • Asumsi kritis penulis mendominasi pemikiran dalam tulisan ini

Hegemoni Sistem Patriarki dalam Budaya Media (Oleh : Aris Nugroho)


Sudah bukan hal baru lagi, menyaksikan adegan tokoh wanita menangis bahkan “merengek-rengek” akibat perlakuan tokoh pria dalam sebuah tayangan sinetron. Tayangan program sinetron seperti ini jelas diakui dapat menyentuh emosi audiens. Mungkin secara gamblang diibaratkan air mata dan kesedihan wanita telah menjadi faktor atensi yang memiliki nilai jual. Sehingga tidak dapat dipungkiri beberapa judul sinetron yang siaran secara nasional di Indonesia telah mendapatkan rating tinggi dan tidak lepas dari adegan-adegan melankolis antara wanita dan pria.


Pasti juga sudah tidak asing dengan tayangan iklan yang menampilkan ekspresi bangga dan penuh keyakinan seorang ibu ketika menyiapkan makanan untuk anak dan suami dengan produk masakan tertentu. Atau tayangan iklan TV ketika sosok wanita yang berhasil mencuci bersih dengan produk deterjen tertentu. Iklan jelas dapat dimasukkan dalam produk media karena sebagai sebuah pesan, iklan dapat menjangkau massa dan telah berhasil memberikan pengaruh terhadap massa.


Sementara dalam perkembangan industri media cetak yang semakin terfragmentasi, semakin banyak bermunculan majalah-majalah khusus wanita mulai dari majalah wanita remaja, wanita dewasa sampai wanita dalam keluarga muda. Majalah wanita jelas sangat jauh dari pembahasan yang bersifat politis dan dapat digeneralisasikan majalah wanita sebagai sebuah panduan untuk melangsungkan hidup dalam tatanan sosial. Seperti kiat-kiat dalam fashion dan kecantikkan, memasak, sampai tips-tips dalam mengerti hubungan dengan pria.


Pada perkembangan arus globalisasi, kebebasan media justru menjadi alat pemberdayaan terhadap penindasan kaum wanita. Hanya saja kekuatan represif media bukan dengan cara kekerasan dalam bentuk dominasi fisik, melainkan dalam formula yang lebih halus dan bersifat hegemonik. Penguasaan media melalui mekanisme kepemimpinan moral intelektual tanpa disadari telah menyudutkan keberadaan peran wanita. Apa yang ditampilkan dalam media massa menunjukkan bahwa media semakin mengarah terhadap pemujaan pada budaya patriarki, yaitu kultur yang menempatkan segala aturan, kekuasaan/otoritas dan subyek kepada laki-laki, sedangkan wanita sekedar obyek yang harus tunduk dan patuh terhadap keseluruhan tatanan yang berlaku.


Wanita tidak ditaklukkan melalui kekerasan fisik, melainkan dikalahkan dengan mengubur kesadaran kritisnya. Media dalam sistem dan budaya patriarki dapat dilihat sebagai agen yang justru mendefinisikan realitas sosial. Hal ini berarti media tidak selamanya selalu menampilkan aspirasi dan kehendak kaum wanita, tetapi melalui media kesadaran kritis kaum wanita terus “digerogoti” hingga pada akhirnya wanita hanya sekedar menjadi obyek yang dikendalikan serta didefinisikan. Hal ini merupakan wujud konkret dari Hegemoni Sistem Patriarki.


Fenomena menyangkut wanita pada media telah mengarah pada kehancuran total secara simbolis. Hal tersebut dibuktikan dalam tayangan-tayangan sinetron yang mengekspos bahwa wanita bergantung dengan laki-laki, hanya sekedar sebagai obyek seks, lemah dan irasional. Dalam iklan sering ditekankan bahwa wanita berfungsi sebagai ibu rumah tangga serta mengurus dan tunduk pada suami (laki-laki). Tidak jauh berbeda pada media cetak untuk wanita yang menjadi panduan fashion dan kecantikkan, yang bertujuan akhir untuk kepuasan laki-laki juga karena media telah membentuk bahwa kecantikan wanita untuk dinikmati oleh laki-laki, termasuk cara membina hubungan dengan laki-laki. Semua yang terjadi pada media seolah memposisikan wanita sebagai peran kedua. Dan hal ini terus dibentuk pada perempuan sehingga mereka menganggapnya sebagai realitas sosial yang merupakan sebuah keharusan dan kewajaran.

Ironisnya, relasi antara media dan perempuan itu justru terjadi dalam era yang disebut sebagai budaya media (media culture). Dalam lingkup sosial semacam ini, media secara kontinyu menampilkan citraan, suara, serta tontonan yang memproduksi aturan hidup keseharian, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik serta perilaku sosial, serta menyediakan materi untuk melakukan identifikasi-diri.

Tragisnya, dalam era budaya media ini nasib perempuan bukanlah memperoleh pencerahan, tetapi lebih terperosok dalam kubangan serba menindas. Sekali lagi dalam budaya media yang memastikan hukum komersialisasi, komodifikasi, serta standardisasi, keberadaan perempuan tidak lebih dari menjadi korban dan bahkan sekadar obyek yang diperdagangkan.

Kembali pada pandangan Teori Feminist, dapat dijelaskan bahwa pada media telah terjadi relasi kuasa gender, yang lebih bersifat konstruksi sosial. Di sinilah kalangan wanita tidak mampu mengambil sikap keras membedakan tegas antara seks (jenis kelamin) sebagai hal yang terberi secara natural, dan gender sebagai bentukan ideologis yang berwatak kultural.

Seks, didefinisikan adalah pembedaan laki-laki dan wanita yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.

Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara gender (gender differences) sangat potensial melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities).


Secara lebih jelas perbedaan gender dan seks/jenis kelamin dapat dilihat pada skema ini :

Jenis kelamin (seks)

· Tidak dapat diubah

· Tidak dapat dipertukarkan

· Berlaku sepanjang zaman

· Berlaku dimana saja

· Ciptaan Tuhan

Gender:

· Dapat berubah

· Dapat dipertukarkan

· Tergantung waktu

· Tergantung budaya setempat

· Buatan manusia

Berikut merupakan hal yang menyangkut “Bias Gender” bias gender, yaitu suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Contoh bias gender dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Marjinalisasi (peminggiran):

b. Subordinasi (penomor duaan)

c. Beban Ganda (double burden)

· Perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah

· Perempuan sebagai perawat dan pendidik anak, sekaligus pendamping suami dan pencari nafkah tambahan

d. Kekerasan

· Eksploitasi terhadap perempuan dalam Sinetron

· Pelecehan seksual terhadap perempuan dalam Sinetron

e. Pelabelan negatif ( citra baku/ stereotype)

· Perempuan : sumur – dapur – kasur

Mungkin secara pribadi saya berpendapat, dari Hegemoni Sistem Patriarki dalam Budaya Media perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti, mempertanyakan kembali kepada pihak pengelola media mengenai kepekaan dan sensitivitas gender,perlunya pendidikan kritis melek media bagi kalangan wanita. Hal ini dimaksudkan agar wanita dapat mengantisipasi kehadiran media dengan segala tampilannya yang bersifat membujuk. Selain itu, melalui pendidikan ini kalangan wanita dapat diajak mempelajari, mengkritisi, dan jika memungkinkan juga melawan (melakukan resistensi) terhadap manipulasi yang secara masif dilakukan media. Karena berbagai protes dan imbauan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat dan pengawas media selama ini hanya bersifat reaktif dan sporadis.

Terakhir, mungkin bagi kalangan akademisi dapat mengkritisi pesatnya industri budaya yang diproduksi media. Budaya pop tidak ditanggapi secara pesimis, apriori, dan sinis sebagai sejenis kekuatan yang pasti akan menghegemoni masyarakat, melainkan justru berupaya melakukan pengkajian secara optimis bahwa budaya pop dapat dipakai sebagai sarana melakukan resistensi terhadap dominasi yang dijalankan kelompok dominan. (arz)

Paradigma Kritis dan Kalangan Intelektual Muda Sebuah Misi Gerakan Iluminasi Kaum Zion dan Freemason

Paradigma kritis seperti imunisasi yang merasuk pada setiap butir darah. Mengalir dan menciptakan sendiri sistemnya di dalam tubuh generasi muda. Kemunculan paradigma kritis telah berhasil mengacak-acak ilmu sosial dengan menelaah kembali struktur sosial dalam upaya mengungkap ilusi yang dinampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk kesadaran sosial agar memperbaiki dan merubah kondisi kehidupan manusia. Terbentuknya kelompok-kelompok diskusi dan kalangan intelektual muda menjadi pertanda tumbuh suburnya paradigma kritis. Isu-isu sosial yang aktual pun menjadi daging segar bagi taring penuh liur para pemikir kritis, sebut saja hak asasi manusia, persamaan hak wanita dan laki-laki (bias gender), serta berbagai bentuk penindasan termasuk yang bekerja pada sistem budaya. Semua topik jelas merupakan pola yang jika ditarik garis lurus akan mengerucut pada satu titik temu yaitu kebebasan dan kemanusiaan (freedom and humanity).


Hal ini berubah menjadi paranoid bagi tokoh-tokoh dakwah agama, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan hanyalah topeng belaka, paradigma kritis sejatinya menjadi sebuah media iluminasi yang luar biasa dalam pencapaian cita-cita luhur kaum zionis dan kalangan freemason. Iluminasi bagi kaum zionis dipandang sebagai pencerahan (enlightment) dan gerakan Iluminasi merupakan organisasi rahasia yang ingin mewujudkan dunia baru yang bebas dari segala dogma dan tirani agama. Dengan penerapan multidimensi, paradigma kritis yang mengedepankan sisi kemanusiaan semakin menggerogoti seluruh aspek kehidupan. Paradigma kritis memiliki pemikiran dasar yang sejalan dengan misi gerakan Iluminasi yaitu ‘Satu Dunia Baru’ (Novus Ordo Seclorum).


Perlu diketahui bahwa inti ajaran Iluminasi memberikan penafsiran baru tentang setan. Mereka menganggap bahwa setan adalah malaikat yang jatuh dari surga dan sengaja dibumikan, yaitu untuk menebus dosanya dengan cara menjadi penyelamat bagi umat manusia dari kepalsuan agama. Pandangan tentang setan sebagai mahluk yang menyesatkan adalah salah. Justru setan dianggap sebagai simbol keberanian, keterbukaan, dan rasa tanggung jawab. Setan adalah sosok malaikat yang berani mengambil resiko dalam rangka memberikan pelajaran demokrasi kepada manusia. Setan telah menjadi ‘Bapak Demokrasi’ dan Bapak Kebebasan’ yang memberikan semangat paling orisinal dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan.


Pandangan hidup yang bertumpu pada kekuatan, kebijaksanaan, kemanusiaan, dan cinta ini telah melahirkan sederetan nama tokoh-tokoh dunia di berbagai bidang, seperti Karl Marx (tokoh komunis) yang menulis Manifesto Komunis dipandu dan diarahkan oleh satu grup tingkat atas dari Iluminasi, Friedrich W. Nietzsche seorang filsuf Yahudi warga negara Jerman yang juga anggota tingkat ke-33 Freemason yang menjelaskan satu bentuk wujud manusia unggul (Ubermensch). Menurutnya, manusia memiliki roh tuhan yang berasal dari surga dan bersifat bebas. Manusia harus membebaskan dirinya dari segala ikatan bila ingin menjadi manusia yang suci seperti awal penciptaannya. Dalam hal ini termasuk tirani agama. Bagi kaum Iluminasi, tidak ada tuhan kecuali manusia itu sendiri – There is no God but Man.


Pada sejarah perkembangannya, gerakan Iluminasi menyerang aspek ekonomi global dengan merasuki tingkatan penting organisasi ekonomi internasional. Terbukti dengan terwujudnya cita-cita luhur mereka (Novus Ordo Seclorum) yaitu pengakuan pada mata uang yang bersifat sentral, 1 Dollar Amerika. Simbol-simbol falsafah Iluminasi pun sarat pada mata uang satu dollar Amerika, dan bukan pecahan 10 atau 100 Dolar. Hal ini merupakan penekanan bahwa simbol satu menjadi kekuatan Novus Ordo Seclorum. Perkembangan ekonomi pada akhirnya akan memberikan dukungan yang besar bagi kemajuan teknologi dan informasi. Hal ini pun menjadi perwujudan cita-cita Iluminasi dengan kemudahan berhubungan antar negara yang berarti semakin menghilangnya batas-batas negara untuk menjadi Satu Dunia Baru. Salah satu pertandanya adalah slogan ‘global village’ yang semakin mendengung di kalangan pemikir kritis.


Paradigma kritis menjadi salah satu produk fundamental kaum zionis dan kalangan freemason. Gerakan Iluminasi telah memperkenalkan satu metode berpikir yang bebas nilai. Menurut pemikiran mereka, manusia tidak pernah akan mencapai puncak kebenaran, kecuali manusia membebaskan dirinya dari segala dogma agama. Metode Iluminasi ini sungguh luar biasa ampuh karena menawarkan berbagai argumentasi rasional agar manusia bebas dari keimanan agama yang mereka jalani sejak kecil. Iluminasi telah memperkenalkan berbagai falsafah yang bersandar pada matrialisme, perkembangan nilai kemanusiaan, kebebasan, dan akhirnya menawarkan suatu paham baru yang disebut dengan Unitarian Universalist.


Para pemikir gerakan Iluminasi tidak pernah berhenti mencari isu-isu sosial yang bersifat aktual, seperti isu penguasaan materi dan penindasaan akan menjadi sebuah pemikiran yang pada akhirnya mencengkeram kehidupan manusia dengan melekatkan berbagai sisi yang bersifat materi dan menjauhkan hal-hal yang bersifat gaib seperti dalam ajaran agama, persamaan hak laki-laki dan perempuan (bias gender) pun telah melayangkan pola pikir dengan pendekatan nilai-nilai kemanusiaan dan pengaturan nilai sosial berdasarkan rasional sehingga akan membenturkan diri pada dogma dan ajaran agama, pada akhirnya penentuan peran laki-laki dan wanita mulai terurai menurut rasionalitas nilai kemanusiaan. Kebebasan bagi kaum lesbian dan gay (homosex) juga menjadi isu penting yang melihat manusia memiliki kekuasaan dan kebebasan tanpa harus terganggu untuk menentukkan gender mereka yang jelas-jelas hal ini melanggar ajaran agama. Pola pikir bebas yang merasuk dalam paradima kritis akan terus memberikan perlindungan yang sebesar-besarnya bagi kaum lesbian dan gay (homosex) sebagai bentuk pengakuan atas kebebasan dan kuasa kemanusiaan.


Pola pikir bebas (freethinking) dan paradigma kritis yang dikembangkan oleh gerakan Iluminasi jelas sangat ditujukan kepada generasi muda. Hal ini berorientasi pada pembentukkan kalangan intelektual muda yang akan semakin menjauhi dogma agama. Proses pewarisan keimanan dan kepercayaan agama pun akan terus menyusut. Hingga di kemudian hari, tirani agama menjadi hilang seutuhnya dan tak tersentuh lagi. Hal inilah momentum gerakan Iluminasi dalam pencapaian cita-cita luhur kaum zionis dan kalangan freemason, Satu Dunia Baru (Novus Ordo Seclorum) dalam satu pemerintahan bangsa yang bersandar pada nilai matrialisme, perkembangan nilai kemanusiaan, dan kebebasan. (arz)


Sumber :

Ad Dajjal dan Simbol Setan – Totok Asmara

Paradigma dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Metodologi Penelitian – Deddy N. Hidayat

Asumsi dasar penulis sangat mempengeruhi isi tulisan ini