Minggu, April 12, 2009

Pengantar Seminar : Komodifikasi Maskulinitas dalam Media Massa Modern (Oleh : Aris Nugroho)

Maskulinitas di sini dapat dimaknai dengan mengacu pada watak yang melekat pada laki-laki seperti jantan, perkasa, agresif, rasional, dan dominan. Maskulinitas sendiri bukan merupakan sebuah pemberian dari Tuhan dan sudah dimiliki sejak lahir melainkan sebuah konstruksi sosial budaya yang melekatkan ciri maskulinitas pada sosok laki-laki. Maskulinitas dapat diartikan bukan sebagai keadaan biologis seperti seks yaitu laki-laki berpenis dan perempuan tidak berpenis namun sebagai gender yang merupakan bentuk pengkategorian laki-laki dan perempuan dalam identitas, relasi dan peran dalam kehidupan sosial. Seperti pendapat Harding (1968) dan Siva (1989), feminitas dan maskulinitas sebagai sebuah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya dapat saling dipertukarkan, artinya, feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan juga maskulinitas tidak serta-merta hanya dimiliki oleh laki-laki (Fakih, 2001:101). Namun karena pemahaman gender telah dilegitimasi melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat maka citra ideal telah dilekatkan pada laki-laki dengan ciri maskulin dan perempuan dengan ciri feminin. Singkatnya, maskulinitas telah disepakati secara sosial sebagai citra ideal bagi kaum laki-laki dan kemudian diwariskan dalam masyarakat.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat merupakan agen pewaris pertama mengenai konsep maskulinitas laki-laki. Anak laki-laki sejak kecil diperkenalkan dengan mainan seperti robot-robotan dan pistol-pistolan di mana perangkat tersebut membawa nilai maskulinitas yang mengarahkan anak laki-laki ke dalam sikap rasional dan keperkasaan. Anak laki-laki juga dibiasakan untuk bermain ke luar rumah dengan tujuan melatih keberanian dan kejantanan. Bahkan secara lebih ekstrim, anak laki-laki akan mendapat tanggapan ‘miring’ jika mudah menangis (cengeng) dalam menghadapi masalah karena merupakan sikap yang menyimpang dari nilai maskulinitas laki-laki. Institusi pendidikan juga berperan dalam tahap ‘pembelajaran’ maskulinitas bagi laki-laki. Bukti yang paling mudah ditemui adalah buku-buku pembelajaran yang menampilkan kalimat-kalimat seperti “Tono membantu ayah di kebun dan Wati membantu ibu memotong ubi”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa laki-laki tidak digambarkan dalam pekerjaan rumah (domestik) namun pekerjaan di luar rumah (publik). Secara gamblang, maskulinitas pada laki-laki juga menyangkut dalam hal peranan sosial bahwa kejantanan, keperkasaan dan dominan tidak berada dalam ranah domestik.


Tahap penyebaran konsep maskulinitas dalam masyarakat sosial juga tidak terlepas dari keberadaan media. Media sebagai alat penyebar informasi dan komunikasi telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini ternyata media juga memainkan peran yang penting dalam memproduksi nilai-nilai maskulinitas laki-laki. Peneliti melihat bahwa penyebaran maskulinitas dalam media bergerak jauh lebih dinamis. Maskulinitas tidak sekedar kejantanan yang ditampilkan melalui bentuk aksi kekerasan. Maskulinitas terdapat juga pada keperkasaan dalam penguasaan teknologi. Maskulinitas juga menunjuk pada penggambaran fisik ideal laki-laki yang dilekatkan nilai kejantanan dan keperkasaan dalam menarik perhatian lawan jenis melalui tubuh seperti kebugaran tubuh, perawatan tubuh sampai penampilan tubuh atau gaya. Maskulinitas semakin beragam dan terjadi proses negosiasi nilai-nilai. Anggapan umum bahwa perawatan tubuh adalah milik perempuan bukan harga mati yang tidak bisa ditawar.


Media telah berperan mengekspresikan langsung realitas sosial tentang laki-laki. Media telah melakukan penggambaran atas definisi laki-laki dalam wacana maskulinitas. Seperti dalam siaran-siaran TV, laki-laki dalam kehidupan sosial kerap kali digambarkan dengan sikap mandiri, mengambil keputusan, agresif dan mempunyai jiwa kompetisi. Dalam media diperlihatkan bahwa laki-laki dengan penekanan sikap-sikap di atas yang diterima di masyarakat dan sesuatu yang sepantasnya ada sebagai laki-laki. Nilai-nilai maskulinitas laki-laki kini telah dijadikan komoditas dan disebarluaskan melalui media massa. Konsep maskulinitas yang telah diterima melalui nilai-nilai dan norma-norma budaya masyarakat serta disebarluaskan oleh media secara kesinambungan juga dipergunakan oleh para produsen dalam melekatkan produk-produk mereka pada citra maskulinitas atau yang bersifat mendukung dan menambah nilai maskulinitas (celakanya). Singkatnya, dapat diartikan bahwa maskulinitas sebagai komoditas dipergunakan produsen dengan memberikan janji-janji sebuah solusi bahwa maskulinitas bagi laki-laki bisa didapatkan dari produk yang mereka tawarkan atau produk yang dihadirkan produsen menbantu dan memberi dukungan pada masyarkat untuk mendapatkan ciri-ciri maskulin yang tujuan akhir adalah keuntungan bagi produsen atas produk tersebut.


Dalam hal ini telah terjadi komodifikasi yang dalam terminologi Barker dikategorikan sebagai proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme yang menempatkan obyek, kualitas, bahkan tanda sebagai komoditas, di mana komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual (Barker, 2004:517). Komodifikasi maskulinitas laki-laki dalam media menjadi fenomena yang menarik. Di Indonesia, majalah sebagai salah satu bentuk media massa, paling mudah terlihat gelagatnya dalam wacana maskulinitas. Hal ini salah satunya disebabkan karena pergerakkan industri media massa cetak khususnya majalah yang semakin mengarah pada fragmentasi media, di mana pasar media semakin sempit dan segmentasi semakin spesifik. Kemunculan media massa yang ‘menembak’ target pembaca laki-laki pun kemudian membawa serta nilai-nilai maskulinitas. Meskipun majalah laki-laki baru mendapat perhatian setelah segmen majalah wanita menjadi tren namun majalah laki-laki kini mulai menunjukan pergerakan dalam segi bisnis sekaligus menjadi penguatan wacana maskulinitas dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, khususnya majalah laki-laki dewasa.


Majalah pria di Indonesia pun mulai ditanggapi serius oleh pihak-pihak institusi bisnis media di negeri kita. Hal ini ditandai dengan bermunculannya majalah-majalah pria yang membawa identitas aslinya dari negara-negara barat dan dihadirkan melalui versi lokal, sebut saja FHM Indonesia dan Playboy Indonesia. Namun majalah pria di Indonesia yang beredar lebih banyak menampilkan foto wanita dan kurang menonjolkan gaya hidup mewah serta sisi intelektual dari pria sendiri. Kekosongan inilah yang diisi Majalah Esquire Indonesia sebagai majalah pria yang masuk dalam pasar Indonesia awal bulan Maret tahun 2007 lalu.


Kelahiran Majalah Esquire Indonesia berbasis majalah multi-nasional tidak sekedar menguatkan ciri ideal maskulin pada laki-laki bahkan menyeberangkan nilai-nilai maskulinitas barat modern kepada pria-pria Indonesia yang diidentikkan dengan intelektual, fashion style dan gaya hidup, serta konsumerisme. Majalah Esquire Indonesia dapat dikatakan telah berperan dalam transmisi produk budaya dan gaya hidup.


Terbukti dengan terbukanya lahan baru ‘Pasar Laki-Laki’ dimana laki-laki tidak lagi sekedar berpakaian namun bergaya dan hal ini dilekatkan dengan nilai-nilai maskulinitas, contoh nyata seperti pada merek busana Esprit, dulunya produk itu ditujukan untuk wanita. Beberapa tahun belakangan, ia juga memproduksi fashion untuk laki-laki.


Direktur riset dan konsultasi perusahaan iklan terkenal Leo Burnett bernama Alan Treadgold menyatakan bagaimana laki-laki juga berubah dalam cara membeli perlengkapan rumah, mobil, maupun barang-barang elektronik. "Banyak kategori barang yang dibeli oleh laki-laki yang secara konvensional umumnya dianggap urusan perempuan," kata Treadgold. "Secara tradisional, ketika kaum laki-laki membeli perkakas hiburan untuk rumah, motivasi yang mendorong adalah fungsi dan hal-hal bersifat teknis. Sekarang mereka berbelanja di toko-toko yang dulu disukai perempuan, misalnya lingkungan tokonya, gaya pelayanannya, serta hal-hal tidak kelihatan lainnya," tambahnya. Ia contohkan pula, dalam hal iklan mobil yang pangsa pasarnya laki-laki, misalnya, kini yang ditonjolkan bukan lagi spesifikasi teknis mobil, melainkan kenyamanan dan pengalaman mengendara. Riset global oleh agen periklanan Euro RSCG tahun lalu memperlihatkan, laki-laki lebih merasa aman dengan maskulinitas mereka, dengan mereka yang berusia 40 ke atas ingin menunjukkan sensitivitas yang lebih besar, terutama melalui nilai-nilai keluarga. Direktur strategi perencanaan Euro RSCG berujar, "Definisi dari apa yang dimaksudkan sebagai laki-laki, memang berubah."

(http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm).


Lebih lanjut dapat dipahami bahwa maskulinitas laki-laki yang dimainkan dalam media massa dalam hal ini majalah pria sudah tidak semata-mata sebagai ideologi dalam dominasi budaya patriarki namun telah direpresentasi dan dikonstruksikan sebagai komoditas, sesuatu yang diproduksi dan bertujuan untuk dijual. Singkatnya, komodifikasi terhadap maskulinitas laki-laki tengah terjadi dalam media massa modern. (arz – 15/11/07)


Sumber :

  • Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  • Fakih, Mansour, Dr. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0310/25/080628.htm
  • Asumsi kritis penulis mendominasi pemikiran dalam tulisan ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar