Minggu, April 12, 2009

Hegemoni Sistem Patriarki dalam Budaya Media (Oleh : Aris Nugroho)


Sudah bukan hal baru lagi, menyaksikan adegan tokoh wanita menangis bahkan “merengek-rengek” akibat perlakuan tokoh pria dalam sebuah tayangan sinetron. Tayangan program sinetron seperti ini jelas diakui dapat menyentuh emosi audiens. Mungkin secara gamblang diibaratkan air mata dan kesedihan wanita telah menjadi faktor atensi yang memiliki nilai jual. Sehingga tidak dapat dipungkiri beberapa judul sinetron yang siaran secara nasional di Indonesia telah mendapatkan rating tinggi dan tidak lepas dari adegan-adegan melankolis antara wanita dan pria.


Pasti juga sudah tidak asing dengan tayangan iklan yang menampilkan ekspresi bangga dan penuh keyakinan seorang ibu ketika menyiapkan makanan untuk anak dan suami dengan produk masakan tertentu. Atau tayangan iklan TV ketika sosok wanita yang berhasil mencuci bersih dengan produk deterjen tertentu. Iklan jelas dapat dimasukkan dalam produk media karena sebagai sebuah pesan, iklan dapat menjangkau massa dan telah berhasil memberikan pengaruh terhadap massa.


Sementara dalam perkembangan industri media cetak yang semakin terfragmentasi, semakin banyak bermunculan majalah-majalah khusus wanita mulai dari majalah wanita remaja, wanita dewasa sampai wanita dalam keluarga muda. Majalah wanita jelas sangat jauh dari pembahasan yang bersifat politis dan dapat digeneralisasikan majalah wanita sebagai sebuah panduan untuk melangsungkan hidup dalam tatanan sosial. Seperti kiat-kiat dalam fashion dan kecantikkan, memasak, sampai tips-tips dalam mengerti hubungan dengan pria.


Pada perkembangan arus globalisasi, kebebasan media justru menjadi alat pemberdayaan terhadap penindasan kaum wanita. Hanya saja kekuatan represif media bukan dengan cara kekerasan dalam bentuk dominasi fisik, melainkan dalam formula yang lebih halus dan bersifat hegemonik. Penguasaan media melalui mekanisme kepemimpinan moral intelektual tanpa disadari telah menyudutkan keberadaan peran wanita. Apa yang ditampilkan dalam media massa menunjukkan bahwa media semakin mengarah terhadap pemujaan pada budaya patriarki, yaitu kultur yang menempatkan segala aturan, kekuasaan/otoritas dan subyek kepada laki-laki, sedangkan wanita sekedar obyek yang harus tunduk dan patuh terhadap keseluruhan tatanan yang berlaku.


Wanita tidak ditaklukkan melalui kekerasan fisik, melainkan dikalahkan dengan mengubur kesadaran kritisnya. Media dalam sistem dan budaya patriarki dapat dilihat sebagai agen yang justru mendefinisikan realitas sosial. Hal ini berarti media tidak selamanya selalu menampilkan aspirasi dan kehendak kaum wanita, tetapi melalui media kesadaran kritis kaum wanita terus “digerogoti” hingga pada akhirnya wanita hanya sekedar menjadi obyek yang dikendalikan serta didefinisikan. Hal ini merupakan wujud konkret dari Hegemoni Sistem Patriarki.


Fenomena menyangkut wanita pada media telah mengarah pada kehancuran total secara simbolis. Hal tersebut dibuktikan dalam tayangan-tayangan sinetron yang mengekspos bahwa wanita bergantung dengan laki-laki, hanya sekedar sebagai obyek seks, lemah dan irasional. Dalam iklan sering ditekankan bahwa wanita berfungsi sebagai ibu rumah tangga serta mengurus dan tunduk pada suami (laki-laki). Tidak jauh berbeda pada media cetak untuk wanita yang menjadi panduan fashion dan kecantikkan, yang bertujuan akhir untuk kepuasan laki-laki juga karena media telah membentuk bahwa kecantikan wanita untuk dinikmati oleh laki-laki, termasuk cara membina hubungan dengan laki-laki. Semua yang terjadi pada media seolah memposisikan wanita sebagai peran kedua. Dan hal ini terus dibentuk pada perempuan sehingga mereka menganggapnya sebagai realitas sosial yang merupakan sebuah keharusan dan kewajaran.

Ironisnya, relasi antara media dan perempuan itu justru terjadi dalam era yang disebut sebagai budaya media (media culture). Dalam lingkup sosial semacam ini, media secara kontinyu menampilkan citraan, suara, serta tontonan yang memproduksi aturan hidup keseharian, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik serta perilaku sosial, serta menyediakan materi untuk melakukan identifikasi-diri.

Tragisnya, dalam era budaya media ini nasib perempuan bukanlah memperoleh pencerahan, tetapi lebih terperosok dalam kubangan serba menindas. Sekali lagi dalam budaya media yang memastikan hukum komersialisasi, komodifikasi, serta standardisasi, keberadaan perempuan tidak lebih dari menjadi korban dan bahkan sekadar obyek yang diperdagangkan.

Kembali pada pandangan Teori Feminist, dapat dijelaskan bahwa pada media telah terjadi relasi kuasa gender, yang lebih bersifat konstruksi sosial. Di sinilah kalangan wanita tidak mampu mengambil sikap keras membedakan tegas antara seks (jenis kelamin) sebagai hal yang terberi secara natural, dan gender sebagai bentukan ideologis yang berwatak kultural.

Seks, didefinisikan adalah pembedaan laki-laki dan wanita yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.

Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara gender (gender differences) sangat potensial melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities).


Secara lebih jelas perbedaan gender dan seks/jenis kelamin dapat dilihat pada skema ini :

Jenis kelamin (seks)

· Tidak dapat diubah

· Tidak dapat dipertukarkan

· Berlaku sepanjang zaman

· Berlaku dimana saja

· Ciptaan Tuhan

Gender:

· Dapat berubah

· Dapat dipertukarkan

· Tergantung waktu

· Tergantung budaya setempat

· Buatan manusia

Berikut merupakan hal yang menyangkut “Bias Gender” bias gender, yaitu suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.

Contoh bias gender dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Marjinalisasi (peminggiran):

b. Subordinasi (penomor duaan)

c. Beban Ganda (double burden)

· Perempuan bekerja di luar dan di dalam rumah

· Perempuan sebagai perawat dan pendidik anak, sekaligus pendamping suami dan pencari nafkah tambahan

d. Kekerasan

· Eksploitasi terhadap perempuan dalam Sinetron

· Pelecehan seksual terhadap perempuan dalam Sinetron

e. Pelabelan negatif ( citra baku/ stereotype)

· Perempuan : sumur – dapur – kasur

Mungkin secara pribadi saya berpendapat, dari Hegemoni Sistem Patriarki dalam Budaya Media perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti, mempertanyakan kembali kepada pihak pengelola media mengenai kepekaan dan sensitivitas gender,perlunya pendidikan kritis melek media bagi kalangan wanita. Hal ini dimaksudkan agar wanita dapat mengantisipasi kehadiran media dengan segala tampilannya yang bersifat membujuk. Selain itu, melalui pendidikan ini kalangan wanita dapat diajak mempelajari, mengkritisi, dan jika memungkinkan juga melawan (melakukan resistensi) terhadap manipulasi yang secara masif dilakukan media. Karena berbagai protes dan imbauan dari kalangan lembaga swadaya masyarakat dan pengawas media selama ini hanya bersifat reaktif dan sporadis.

Terakhir, mungkin bagi kalangan akademisi dapat mengkritisi pesatnya industri budaya yang diproduksi media. Budaya pop tidak ditanggapi secara pesimis, apriori, dan sinis sebagai sejenis kekuatan yang pasti akan menghegemoni masyarakat, melainkan justru berupaya melakukan pengkajian secara optimis bahwa budaya pop dapat dipakai sebagai sarana melakukan resistensi terhadap dominasi yang dijalankan kelompok dominan. (arz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar